Seribu Ilmu: IGLO
News Update
Loading...
Showing posts with label IGLO. Show all posts
Showing posts with label IGLO. Show all posts

Wednesday, April 22, 2020

Hedonistic Consumerism:  From Want-Satisfaction To Whim-Satisfaction

Hedonistic Consumerism: From Want-Satisfaction To Whim-Satisfaction


Hedonistic Consumerism:  From Want-Satisfaction To Whim-Satisfaction 
Andrea Migone
Department of Political Science
Simon Fraser University

Markets, Consumption And Consumerism Consumption is an integral part of social and biological life. Consumption is necessary for human beings to sustain themselves, to develop the skills and abilities that allow them to function in society, and is fundamental in the running of the economic system. In fact, markets developed, by and large, as a response to these needs: they constitute an efficient way of producing and allocating the goods and services that are required to satisfy them. Consumption aimed at the healthy development of the physical, intellectual and emotional spheres of human beings should be an inherent right for all persons. I propose that, for the purpose of our analysis, we define as human consumption the level of goods and services that are required to satisfy these needs.

 A different aspect of consumption is its degeneration into consumerism: accepting that it is through the possession and/or consumption of increasing quantities of products that human beings can achieve self-development and self-fulfillment. It is a non-referential process, as Bauman notes: “Consumer society and consumerisms are not about satisfying needs not even the more sublime needs of identification or self-assurance as to the degree of ‘adequacy’. The spiritus movens of consumer activity is not a set of articulated, let alone fixed, needs, but desire” (2001: 13). Commodification is now, as noted by Lukács (1971), diffused across all classes and represents the defining moment of capitalist relations. Increasingly, the elements of human action are brought into the arena of consumption and reified as consumer goods (Hennessy 2000). 

Even if we do not fully subscribe to the notion that the structure of consumer society dictates consumption patterns through the creation of cultural models that foster consumerism, while propagandizing ‘free consumer choice’ (Adorno and Horkheimer, 1972; Marcuse 1964), even if we recognize that advertising is not an all powerful determinant of consumer behaviour, but only a party to the shaping of consumer attitudes (Bauman 2001; Ohmann1996) still we are returned to the question of why so much of societal interaction is expressed through consumption. There is, I argue, a tendency in capitalism to manipulate consciousness through culture and desire. This manipulation is not the final determinant of all consumption choices, but it cannot be dismissed out of hand, in the same way in which the material referents of consumerism cannot be explained away by assuming the irrelevance of socio-economic structure on micro-economic activity as is often the case in unsophisticated liberal economic thought.

Aplikasi Cicil Penyubur Budaya Konsumerisme

Aplikasi Cicil Penyubur Budaya Konsumerisme



Seiringnya derasnya globalisasi dikalangan mahasiswa dimanfaatkan oleh perusahaan cicil sebagai solusi untuk mencicil barang idaman tanpa kartu kredit dan batas penghasilan, tentunya hal ini membuat banyak mahasiswa yang tergiur untuk membeli banyak barang yang diingikan dikarenakan tagihan bulanan yang kecil, namun mereka yang memiliki pemikiran budaya konsumerisme. Tidak pernah memikirkan untung dan rugi dalam pembelian barang yang terpenting hasrat keinginan terpenuhi. Padahal kehidupan konsumtif sangat berbahaya dan tentunya hal itu disadari oleh kalangan mahasiswa namun hal itu bukan menjadi masalah yang terpenting diera digital dan era globalisasi yang nampak jelas tentu membuat mahasiswa terus mengejar keinginan dan menunjukan eksitensinya di media sosial agar dikui sebagai golongan atas.


Pendahuluan
Aplikasi Cicil atau yang sering kita kenal dengan Cicil Id merupakan sebuah perusahaan teknologi finansial berjiwa sosial. Tujuannya adalah memberikan akses kemudahan pembiayaan bagi mahasiswa. Karena lembaga pembiayaan konvensional membutuhkan sejarah kredit atau pendapatan minimum sebagai syarat pengajuan pinjaman, fasilitas pembiayaan mahasiswa sangat terbatas.
Menabung berbulan-bulan untuk membeli laptop untuk tugas kuliah dan skripsi memang sulit. Karena itulah CICIL bertujuan menjadi solusi masalah seperti ini. Kami menganalisa beragam variabel, termasuk profil akademis mahasiswa, untuk memberikan fasilitas cicilan ringan kepada mereka. Dengan fasilitas ini, mahasiswa dapat membeli produk impian mereka.[1]
“We live in a time when most human suffering is the direct result of the lack of
goods. What most of humanity desperately needs is more consumption, more
pharmaceuticals, more housing, more transport, more books, more computers. (Daniel Miller’s : 2001)”
Daniel Miller’s mengatakan hal ini pada tahun 2001, pada saat itu keadaan sudah sangat menggambarkan fenomena ini, tentunya dampak ini akan semakin parah di era digital yang sangat mudah diakses oleh semua orang dan mudahnya belanja online. Tentunya hal ini akan berdampak kepada lingkungan, ketidak setabilan sosial dan kekayaan yang akan dikuasi oleh pemilik modal yang besar. Dengan tujuan untuk meningkatakan kekayaan yang digunakan untuk menunjukan gaya hidup yang glamor. Apalagi dimudahkanya dengan adanya sistem cicil atau kredit dikalangan mahasiswa tentu hal ini menjadi solusi bagi mereka yang dapat memanfaatkan untuk kepentingan yang terdesak, namun akan menjadi dampak negatif bagi mereka yang menggunakan sebagai cara untuk menunjukan gaya hidup.
Ada yang berpendapat bahwa kapitalime mempengruhi adanya pola konsumsi manusia.[2] Karena kita tahu bahwa era saat ini kita tidak terlpas dari sistem kapitalis, tentunya pola pikik dan gaya cara berkehidupan pun akan terbawa ke era konsumtif. Menurut Zuly Qodir seorang Sosiolog sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMY mengatakansejak tahun 1990 Indonesia mulai mengenal kata globalisasi, sejak itulah masa-masa konsumerisme di Indonesia. Dan konsumerisme sendiri merupakan pembeda kelas sosial yang nyata.” Saat ini ada sekita jutaan produk luar negri yang di minati seperti H&M, Nike, Addidas, telah menjadi tran dikalangan para reamaja terutama mahasiswa (i),  hal ini akan berdampak pada perekonomian Indonesia terutama dalam pertukaran mata uang.
Konsumerisme di kelas pekerja adalah masalah moral sepanjang abad ke-20 (Cross, 1993), yang artinya konsumerisme sudah ada berabad-abad tahun lalu. Bahkan dalam hasil riset yang dirilis oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukkan bahwa ternyata masyarakat Indonesia tergolong sebagai tipe masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi dalam perilaku konsumtifnya. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk melihat seberapa besarkah pengaruh aplikasi cicil dikalangan para mahasiswa (i) dalam menjalani hidup yang konsumtif atau cerdas dalam mengelola keuangan.

Sejarah Konsuerisme
            Konsumerisme sudah ada sejak abad ke 20,

Pengertian Konsumerisme
Konsumerisme merupakan suatu paham yang membuat orang-orang mennggunakan hasil produksi secara berlebihan, dan berkelanjutan. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kosumerisme ialah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Gaya hidup yang tidak hemat,[3].
Hal ini tidak jauh dari perilaku konsumtif, karena dengan membeli dan menggunakan barang dengan berlebih dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan untuk beberapa orang. Perilaku konsumtif menimbulkan dampak konsumerism dikalangan  mahasiswa (i) itu sendiri sehingga banyak yang menggap bahwa gaya dan Fashion merupakan tran yang harus dipikirkan tanpa harus memikirkan pengeluaran. Ditambah lagi dengan adanya budaya diskon yang dilakukan oleh pelapak. Hal ini tentu membuat para remaja terutama mahasiswa yang tinggal jauh atau ngekos dapat memanfaatkan uang jajan sebagai biaya gaya hidup yang semakin menjamur.
Menurut Steatns, konsumerisme adalah sebuah penetapan untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan bagi kehidupan individu atau rumah tangga dan menganngap nilai ini menjadi bagian penting dari penilaian individu dan sosial. (Stearns, 2009). Yang artinya nilai membeli barang sudah menjadi satu bagian gaya hidup yang harus dipenuhi untuk menunjukan tingkat sosial individu agar dapat dianggap dan dihormati, sesuai nilai barang atau jasa yang dibayar.




Pasar Online dan Tran
Perkembangan pasar online dan  pesatnya pembangunan dan industrialisasi, memiliki andil terhadap perubahan motif perilaku konsumtif. Hal itu didasari dengan cara pandangan masyarakat mengenai kebahagiaan dilihat dari seberapa banyak orang sering membeli keinginanya. Padalah kemunculan took online memeberikan dampak konsumerismi yang tinggi ditambah dengan adanya kredit dari aplikasi cicil yang semakin mudah di jangkau oleh mahasiswa. Tentu hal seperti ini membuat mahasiwa (i) lupa akan kebutuhan yang seharusnya lebih penting ketimbang keinginan yang diperlukan.
Dengan adanya pasar online mendorong masyarakat untuk terus menggunakan berbagai macam produk yang dihasilkan mengikuti tren yang ada. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi motifnya kemudian berubah menjadi ajang untuk meningkatkan status sosial, serta memperoleh pengakuan antara sesama. Biasanya ini dilakukan oleh para remaja, tentu hal ini akan berdampak kedepanya hingga menginjak kejenjang keluarga dan dapat menurut ke pada keturunannya, hingga berlanjut terus menerus.
Pasar online seperti tokopedia telah bekerjasama dengan cicil menambah daftar toko online yang terpercaya dan mudah untu memenuhi kebutuhan ditambah dengan fasilitas dari cicil, tentu hal ini akan menambah gairah. Mahasiswa (i) untuk berbelanja online dengan aplikasi cicil, karena segala sesuatu di cicil dapat dicicil dengan mudah bahkan sepatu yang lagi naik daun pun dapat dicicil dengan mudah.

Dampak Perilaku Konsumerime
Dampak dari konsumerime menimbulkan banyak permasalahan sosial yang dapat mempengaruhi orang sekitar dengan begitu konsumerisme menimbulkan dampak menjamur. Tentunya hal ini dapat diatasi dengan pendidikan perilaku berhemat dan penempatan keuangan yang pas. Banyak dari kita yang tidak sadar akan perlaku konsumerisme, namun melakukan hal tersebut terus menerus. Perilaku ini muncul dari keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu namun dalam keseharian seseuatu yang diinginkan tersebut tidak begitu penting bahkan hanya sia-sia.
Saat ini muncul tran anak muda yaitu perilaku hype atau dapat diartikan perilaku untuk membeli barang mewah untuk menunjukan tingkat sosial, atau hanya sekedar untuk bersenga-senang. Perilaku ini tentu tidak murah, perlu menrogoh lebih dalam keuangan utuk mengikuti tran hype bahkan ada yang menghabiskan miliaran rupiah dalam sekali beli. Namun di sisi lain tran ini menberikan dampak positif yaitu munculnya tran loca hype yaitu sebuah tran yang mengangkat produk local sebagai citra rasa untuk mencintai produk lokal.
Di sisi lain perilaku konsumerisme menimbulkan dampak yang sangat berbahaya, diantaranya mendahulukan keinginan dari pada kepentingan sehingga segala cara dilakukan hingga hutang begitu banyak, hingga tidak dapat membayar hutang. Tidak hanya itu  hal ini dapat mempengaruhi perlaku sosial, seperti munculnya kebiasaan mencuri atu yang disebut sebagai cleptomania atau dapat dikatakan sebagai hasrat keinginan yang dalam, sehingga ketika hasrat itu tidak dapat dipenuhi maka yang terjadi ialah kriminalitas yang tinggi.
Bahkan seorang istri pejabat dapat mempengaruhi seorang suami untuk korupsi demi dapat membeli produk, jasa yang diinginkan sehingga tidak jarang para pejabat tertangkap KPK karena telah menggunakan uang rakyat. Dampak dari konsumerisme, tentu dapat menular ke orang lain, dikarenakan adanya pengaruh sosial diseitar lingkungan pergaulannya.

Hubungan Konsumerime dengan IGLO
Konsumereime akan menimbulkan banyak dampak dari kehidupan mulai dari kehidupan sosial dan kerusakan alam. Mungkin tidak banyak yang mengerti kenapa konsumerisme dapat menyebabkan kerusakan alam tapi tanpa kita sadari kita telah merusak alam. Produk apa saja yang kita beli tentu berawal dari tumbuhan entah itu pohon dan lain sebgainya dan tentunya setiap barang produksi memicu adanya limbah pabrik, dan apabila banyaknya permintaan dari masyarakat limbahnya akan semakin banyak dan alam pun akan tercemari.
Dikutip dari liputan 6, pada tahun 2018 Indonesia masalah sampah elektronik kian banyak hingga mencapai 49,8 Juta Ton di tahun 2018 tentunya hal ini disebabkan dari banyak hal terutama dari sisa elektronik rumah tangga yang tidak terpakai, konsumsi elektronik setiap tahunnya kian menigkat terutama di benua Asia. Menurut peneliti dari United Nations University bahwa peningkatan sampah elektronik di benua Asia mencapai 4-5 % per tahunya. Peningkatan ini tentunya disebabkan dari produksi dan bekas konsumsi barang elektronik tentunya konsumsi ini meningkat disebabkan adanya daya beli yang tinggi entah dari keinginan atau pun rasa ingin memiliki yang tinggi tanpa perlu memikirkan keperluan. Tidak hanya sampah elektronik sampah lainya minuman botol dan sampah pelastik setiap kita membeli produk tentu meninggalkan sampah plastic. Sehingga para pendukung lingkungan hidup tentu akan menentang hidup konsumtif dan perilaku konsumerisme.
Seiringinya perkembangan zaman tepatnya di era generasi milenial membuat pabrikan smartphone semakin gencar dalam memproduksi hanphone, hal ini diiringi dari permintaan pasar yang meningkat, ditambah adanya kemudahan bagi mahasiswa (i) dalam membeli produk terebut smartphone, tidak jarang kita melihat teman, sodara dan sekeliling mahasiswa (i) memiliki smartphone baru setiap priode, tentu hal ini disebabkan oleh trend dan rasa ingin memilikiyang tinggi sehingga mudah membuat orang-orang untuk membeli smartphone baru walau smartphone lama masih bisa digunakan.
            Apabila hasrat ini tidak dapat dikontrol yang akan diuntungkan tentu perusahaan dan tentunya ada yang diuntungkan ada pula yang dirugikan, tidak hanya perusahaan saja yang diuntungkan tetapi para buruh pekerja yang membutuhkan pekerjaan. Namun dibalik itu semua kerusakan lingkungan seperti sampah elektronik akan semakin banyak, di Indonesia sendiri sampah elektronik tidak begitu diperhatikan sehingga yang akan terjadi kerusakan lingkungan. Tidak jarang kita melihat tumpukan sampah elektronik yang kian banyak di tempat rongsong membuat kita berfikir untuk mengurangi sampah elektronik.
Apabila kita mengurangi sampah elektronik dan sudah hilang perilaku konsumerisme tentu yang akan dirugikan para pekerja yang banyak di PHK dikarenakan permintaan pasar yang berkurang sehingga prinsip dari perusahaan yang tidak ingin rugi akan memberhentikan secara sepihak beberapa buruh bahkan ratusan buruh sekali pun. Karena dianggap merugikan apabila masih mempertahankan pekerja yang banyak dan permintaan pasar yang sedikit.




Refrensi :
https://www.cicil.co.id/about-us
Mike Featherstone, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, terjemahan. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
https://kbbi.web.id/konsumerisme
https://geotimes.co.id/opini/konsumerisme-pergeseran-falsafah-hidup-masyarakat-indonesia/
Stearns, Peter N. 2009. Handbook of Economics and Ethics (Consumerisme). Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc.
https://www.liputan6.com/tekno/read/3174357/sampah-elektronik-membeludak-hingga-498-juta-ton-di-2018




[1] https://www.cicil.co.id/about-us
[2] Mike Featherstone, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, terjemahan. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
[3] https://kbbi.web.id/konsumerisme

Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia




Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan menjadi permasalahan yang sangat diperhatikan banyak orang dan para aktifis serta para politikus, apalagi menjelang PILPRES dan PILEG, entah sebagai ajang pencari suara atau benar untuk memberantas batas sosial dan kemiskinan yang terbentuk di Indonesia saat ini. Batas sosial atara kaya dan miskin mungkin tidak begitu terlihat apabila di desa tetapi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Makasar tentu membuat kita menjadi sangat prihatin bahkan di beberapa media dituliskan banyak orang miskin di kota besar seperti Jakarta yang terkadang tidak bisa makan dalam sehari, ada juga yang sehari 1 kali makan dan sebagainya, tentu hal ini membuat kita terheran-heran apa penyabab dari semua ini. Apakah kebiasaan beramalas-malasan ? Apakah tidak rajin dalam bekerja ? Apakah pemborosan ? atau Sistem negara kita yang salah kaprah ?

Kata Kunci : Kemiskinan 

Pendahuluan
Mengatasi kemiskinan tentu memakan waktu dan aggaran yang sangat banyak, dikarenakan poulasi di Indonesia sangatlah banyak tentu hal ini diperlukan perhatian khusus, bahkan banyak lembaga riset untuk mendata berapa banyak kemiskinan di Indonesia, nantinya data ini digunakan sebagai pacuan untuk mengetahui seberapa banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Tetapi saat ini data garis kemiskinan dibuat ajang untuk pertunjukan keberhasilan pemerintah untuk menunjukan seberapa suksesnya pemerintah saat ini memimpin walau data dan fakta terkadang tidak sejalan denga kenyataan yang ada.
Banyak permasalah yang dikeluhkan dari masyarakat yang tergolong miskin, ada juga yang merasa miskin bahkan pura-pura miskin hanya untuk mendapatkan fasilitas yang diberi oleh negar semisal Kartu Pintar, Kartu Sehat dan sebagainya. Padahal kartu ini bukanlah solusi utama dalam menyelesaikan kemiskinan yang ada di Indonesia. karena pada dasarnya Indonesia dan negara-negara lainya sedang terjebang disebuh sistem sehingga negara kita tidak mampu keluar dari sitem ini.
Dari sebuha catatan sejarah Indonesia pernah mengatasi kemiskinan yang awalnya ½ (setengah) dari penduduk Indonesia kemudian menjadi 11%.[1] Kembali lagi data ini menjadi ajang pertunjukan kesuksesan pemerintahan, tetapi lagi lagi-lagi kemiskinan tidak dapat 100% dihilangkan. Kemiskinan merupakan anugra Tuhan berikan kepada kita agar kita sadar bahwa apa yang kita miliki saat ini jauh lebih baik karena masih ada yang di bawah kita.
Keberhasilan Indonesia dalam melakukan pembangunan ekonomi dan memberantas angka kemiskinan  mendapat banyak pujian dari negara-negara najuda dan masayrakat dunia. Laporan World Bank (1993) yang bertajuk: "The East Asian Miracle", misalnya, menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan Asia dalam daftar "The High Performing Asian Economies (HPAEs)" sejajar dengan Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura.[2] Yang artinya Indonesia mampu mengatasi kemiskinan, tetapi setalah Word Bank menyatakan krisis Indonesia mendapatkan dampak dari sistem ini.
Kasus kisis 1998 selalu menjadi ajang salah-salahan kemiskinan pada saat ini tuduhan-tuduhan korupsi dan sebagainya menjadi bumbu politis di Indonesia untuk membantah kegagal untuk mengatasi kemiskinan. Saat ini kita kekurangan mengenai penjelasan krisis dan masalah pada tahun 1998 yang menyebabkan banyak hal yang membuat Indonesia hingga saat ini selalu menyalahkan Orde Baru sebagai pakar penyebab kemiskinan di Indonesia. Seandainya semua masyarakat Indoensia tau penyebab krisis dan kemiskinan dan sangkut paut dengan 1998 tentu kita akan lebih kritis dan bahu membahu mencari solusi ketimbang mengeles menyalahkan masalalu.
Kegagalan dalam mengatasi kemiskinan tentu berdampak buruk bagi masyarakat, perilaku sosial, politik, ekonomi dan menimbulkan banyak permasalahan baru bahkan yang paling parah ancaman untuk lepas dari Indonesia, semisal Papua, dengan gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang mengancam untuk pisah dan keluar dari NKRI karena merasa pemerataan kesejahtraan hanya berpusat di pulau jawa, tidak hanya permasalahan mengenai itu saja jauh lebih dari itu yang terjadi di sana pendidikan kurang merata, yang terjadi adalah kesenjagan pendidkan. Banyak diskriminasi suku Papua dipulau jawa yang selalu dilihat norak, dan mengerikan karena kita sangat sedikit sekali bergau dengan masyarakat Papua karena tidak sebanyak suku Jawa yang menyebar di seluruh dunia. Sehingga yang terjadi adalah cara pandang kita terhadap orang Papua dan sebalinya tidak sama, dan merasa canggung.
Kemiskinan menimbulkan turunya angka pendidikan di Indonesia, sehingga kemiskinan memberikan dampak buruk kepada wawasan generasi muda, yang seharusnya mendapat pendidikan wajib 9 tahun tapi tidak seperti realita, berikut adalah table angka melek huruf diambil dari data BPS tahun 2017.




[1] https://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301?
[2] Punu Anto, Erutan Agas. 2007. Mengkaji Potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk Pembuatan Kebiiakan Anti Kemiskinan di Indonesia. Jurlana UGM . (p.295- p.296)


Monday, April 20, 2020

Lingkungan dan Globalisasi: Relasi yang Problematik (?) Studi Kasus Peningkatan Sampah Impor Indonesia Pasca National Sword Policy China Tahun 20018

Lingkungan dan Globalisasi: Relasi yang Problematik (?) Studi Kasus Peningkatan Sampah Impor Indonesia Pasca National Sword Policy China Tahun 20018




Lingkungan dan Globalisasi: Relasi yang Problematik (?)
Studi Kasus Peningkatan Sampah Impor Indonesia Pasca
National Sword Policy China Tahun 20018


Yusril Ihza Ali

Mahasiswa Program Sarjana Hubungan Internasional
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

email: yusrilihzazaemon@gmail.com


Abstract
Environmental problems caused by garbage are getting worse. However, this was even worse when China created a policy entitled National Sword Policy in 2018. One of the effects of this policy was an increase in imported waste in Indonesia due to diversion of garbage from exporting countries, which make the government of Indonesia changed its foreign policy related to imported waste. In this study, the author is interested in examining what is the best kind of regulation to support both human activites and the nature itself. The author also analyzed what are the factors that makes the government of Indonesia makes such change to the Indonesia’s policy regarding waste import. The research method that will be used by the author is a qualitative-descriptive method, in order to be able to provide a systematic picture of the process of changing a country's foreign policy, based on the theory of foreign policy change.

Keywords: waste, import, regulation, foreign policy, National Sword



Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Informasi%20Lingkungan][recentbylabel2]
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done